“bila kamu kejar citamu, maka cinta akan turut serta
bersamamu. Tak perlu dicari, pasti menghampiri. Tapi saat kau cari cinta itu,
ia hanya akan menghindar dan mempersulit hidupmu. Berapa banyak kesempatan,
waktu, harta, bahkan nyawa yang hilang sia-sia karena cinta dunia yang sesaat?
Bila kau kejar cita, akhirat, dan mencari keberkahan hidup, maka dunia akan
ikut menyertaimu dan sebaliknya.”
Untaian kalimat itu masih terngiang jelas di pikiranku.
Semua terasa seperti sepotong kaset yang terus di-rewind sampai track 1. Bahkan
aku masih mengingat pakaian apa yang dikenakannya, air wajahnya saat mengucapkannya,
dan semuanya. Semua tentang dia, aku ingat.
“I’m asking you to be
my wife, and no, not now. Later, few years later.”
“are we bound?”
“no, you can make any
relationship with anyone, any man, and so do I, but right in this date 5 years
later, you’ll be my wife and I’ll be your husband.”
Aku tak bisa mendeskripsikan perasaanku saat itu. Antara
senang dan sedih. Kenapa harus sekarang? Ketika kita telah lulus SMA dan akan melanjutkan
studi kita masing-masing di tempat yang berbeda, bahkan di negara yang berbeda.
Namun disinilah aku berada. Bersama Adam yang lain, yang
siap menjagaku sampai ia kembali. Dan oh tentu tidak, Adam yang lain ini tidak
mengetahui apapun soal ia yang kutunggu. Aku juga tidak memanfaatkannya untuk
menjagaku saja, justru kepadanyalah aku belajar, belajar sabar. Karena
sesungguhnya sabar adalah hal yang mudah diucapkan tapi berat untuk
dilaksanakan. Sabar untuk terus bersamanya sampai selesai kewajibannya. Oleh
karena itu, sabar, sabarlah aku, untuk sementara dan tak akan selamanya, karena
kutahu yang sesungguhnya aku cinta dan mencintaiku, dia yang kutunggu.
“halo? I-radio?—aku
mau request lagu ya—Sabar by Afgan—thank you.“
“hope you listen, dear.”